Legenda MU Kembali Picu Perdebatan Soal Standar Gelandang Modern
2 Gelandang Cerdas, Paul Scholes, legenda besar Manchester United sekaligus salah satu gelandang terbaik dalam sejarah Premier League. Kembali menjadi sorotan setelah komentarnya yang memicu perdebatan di kalangan penggemar sepak bola Inggris.
Dalam wawancara bersama The Overlap, Scholes mengungkapkan pandangan jujurnya tentang gelandang-gelandang top saat ini. Menariknya, ia tidak memasukkan nama Declan Rice (Arsenal) maupun Moises Caicedo (Chelsea) — dua pemain yang termasuk dalam jajaran gelandang termahal Premier League.
Padahal, baik Rice maupun Caicedo telah tampil cukup solid musim ini. Rice menjadi motor lini tengah Arsenal di bawah Mikel Arteta, sementara Caicedo mulai menunjukkan performa stabil di Chelsea. Namun, bagi Scholes, keduanya belum memenuhi standar “gelandang ideal” menurut versinya.
Filosofi Scholes: Gelandang Progresif Lebih Bernilai
Scholes menjelaskan bahwa dirinya lebih menyukai tipe gelandang progresif, bukan sekadar pemain yang fokus bertahan. Ia menilai gelandang sejati harus mampu mengontrol tempo permainan, mengatur arah serangan, dan berani mengambil risiko untuk menciptakan peluang.
“Saya tidak terlalu terkesan dengan gelandang yang hanya bertugas bertahan,” ujar Scholes.
“Saya lebih suka pemain yang bisa melakukan sedikit dari segalanya — mengatur ritme permainan, maju membantu serangan, dan tahu kapan harus menahan bola.”
Menurut Scholes, pemain yang hanya bertahan atau sesekali mencetak gol bukanlah tipe favoritnya. Ia menginginkan gelandang yang berani bermain progresif dan memiliki kecerdasan dalam membaca permainan.
Dihujat Karena Selera yang Tidak Populer
Scholes sadar bahwa pandangannya ini tidak populer di kalangan penggemar maupun pundit sepak bola. Banyak yang mempertanyakan keputusannya meninggalkan nama-nama seperti Rice dan Caicedo dari daftar lima besar gelandang terbaik versinya.
Namun, Scholes tetap teguh pada pendiriannya. Ia menegaskan bahwa dirinya memiliki standar berbeda dari kebanyakan orang.
“Saya dihujat karena saya membuat daftar lima besar minggu lalu,” ungkapnya.
“Dan saya tidak menempatkan orang seperti Caicedo atau Rice karena saya menyukai tipe gelandang yang berbeda.”
Bagi Scholes, popularitas atau harga transfer besar bukanlah ukuran kualitas seorang gelandang. Ia lebih menilai dari kecerdasan dalam mengambil keputusan di lapangan serta kemampuan mengendalikan momentum pertandingan.
Dua Gelandang ‘Brilian’ Pilihan Scholes
Ketika diminta menyebutkan contoh pemain yang sesuai dengan kriterianya, Scholes tanpa ragu menyebut dua nama yang dianggap “brilian”. Vitinha (PSG) dan Alexis Mac Allister (Liverpool).
“Vitinha di PSG itu luar biasa, dia brilian,” ujar Scholes penuh pujian.
“Dan saya pikir Mac Allister di Liverpool tahun lalu juga sangat brilian. Saya tahu dia tidak memulai musim ini dengan baik, tapi saya suka cara dia bermain.”
Scholes menilai Vitinha adalah contoh sempurna dari gelandang modern yang tenang dalam menguasai bola. Mampu memecah pressing lawan, serta punya kemampuan teknis tinggi. Sementara itu, Mac Allister — terutama pada musim lalu bersama Brighton dan awal kariernya di Liverpool — dianggap punya kecerdasan posisi dan visi permainan yang luar biasa.
Kritik untuk Timnas Inggris
Dalam kesempatan yang sama, Scholes juga mengkritik komposisi Timnas Inggris, yang menurutnya masih kekurangan gelandang cerdas dan pengontrol permainan sejati.
Meskipun Inggris memiliki banyak pemain berbakat seperti Rice, Bellingham, dan Gallagher. Scholes menilai tidak ada satu pun yang benar-benar berperan sebagai regista atau playmaker kontrol tempo seperti yang dimiliki tim-tim top Eropa.
“Rice bukanlah tipe gelandang saya,” tegas Scholes.
“Saya tidak berpikir kita punya tipe gelandang pengontrol yang bisa melakukan segalanya. Kita tidak punya sosok seperti Vitinha, Toni Kroos, atau Luka Modric.”
Pernyataan ini seolah menjadi tamparan bagi skuad Gareth Southgate yang kerap mengandalkan kekuatan fisik dan kecepatan, tapi belum memiliki pengatur ritme seperti Scholes di masa lalu.
Scholes dan Standar Gelandang Kelas Dunia
Sebagai mantan pemain yang dikenal karena kemampuan passing, visi tajam, dan kontrol bola luar biasa, Scholes tentu punya kredibilitas besar untuk berbicara soal gelandang.
Dalam kariernya bersama Manchester United, ia menjadi otak permainan di bawah asuhan Sir Alex Ferguson, membantu klub meraih berbagai gelar Premier League dan Liga Champions.
Tak heran jika pandangannya banyak diperdebatkan, karena Scholes menilai dari kacamata teknis dan intelektual sepak bola, bukan sekadar angka statistik atau harga transfer.
Kesimpulan: Pandangan Jujur Seorang Maestro
2 Gelandang Cerdas, pernyataan Paul Scholes sekali lagi menunjukkan bagaimana legenda-legenda lama memandang sepak bola dengan perspektif berbeda. Bagi Scholes, nilai seorang gelandang tidak diukur dari harga mahal atau statistik defensif, melainkan dari seberapa besar pengaruhnya dalam mengendalikan jalannya permainan.
Dua nama yang ia pilih — Vitinha dan Mac Allister — mungkin bukan yang paling mencolok, tetapi keduanya menggambarkan kualitas yang Scholes anggap paling penting: kecerdasan, progresivitas, dan kemampuan berpikir cepat di lapangan.
Di tengah era sepak bola yang semakin menonjolkan kekuatan fisik dan pressing agresif, pandangan Scholes ini menjadi pengingat bahwa “otak sepak bola” tetap tak tergantikan.
 
   
   
   
   
  